Lukisan Neo Pop Art Interpretatif Sosok Tokoh Pramoedya dan Soeharto

Spread the love

Cakrawala Merah, Jakarta – Salah satu koleksi lukisan karya Hardi yang dipamerkan di Galeri Nasional, dengan tema Jejak Perlawanan Sang Presiden 2001 sarat pesan moral dan penyampaian pandangan, yakni lukisan dengan judul Neo Pop Art. Lukisan tersebut dibuat dengan empat komponen pola simetris, terutama sisi kiri (lukisan) yakni Pramoedya Ananta Toer (pengarang novel tahun 1940-an) dan kanannya, Soeharto (presiden ke-2 RI; 1968 – 1998).

“Posisi pola gambar Pramoedya dan Soeharto sengaja dibuat berhadapan dan berseberangan. Posisi pola tersebut benar atau salah, itu interpretasi masing-masing orang, yang pasti, interpretasinya kritik tanpa terkesan menggurui,” kata Abimanyu, pemandu pameran. 

Pramoedya yang lahir dan wafat pada 6 Februari 1925 – 30 April 2006, secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.

Sementara Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 dan meninggal pada 27 Januari 2008, adalah seorang Jenderal Besar TNI, presiden yang memerintah selama 32 tahun terpilih dalam enam enam kali Pemilihan Umum.

“Kalau membandingkan keduanya (Soeharto & Pramoedya), Pak Harto (Soeharto) jelas dari pemerintahan pada ranah politik. Sementara Pramoedya, sebagai oposisi pada ranah politik juga. Siapa yang lebih powerful, kembali pada interpretasi masing-masing orang,” kata Abimanyu.

Pola simetris lukisan Neo Pop Art tersebut, kedua tokoh mengapit dua bagian canvas. Posisi dua canvas di tengah berupa empat roman karya yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988 dan kemudian dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa.

Ke-empat roman tersebut diberi istilah Tetralogi Buru, pengungkapan sejarah keterbentukan Nasionalisme pada awal Kebangkitan Nasional.

“Posisi Pramoedya dan Soeharto di sisi kiri atau kanan, itu juga interpretative. Karena pelukisnya sudah berani gebrak pakem-pakem pada seni tradisi dan modern. Sehingga, gebrakannya diistilahkan Neo Pop Art. Lukisan pak Harto dilengkapi dengan pin TNI. Sedangkan pada lukisan lain Hardi, ada sosok yang menyerupai pak Harto, tapi dengan pin WNI. Lukisan dengan makna yang interpretatif, tapi estetikanya tetap terjaga. Karya Pramoedya juga masih relevan, ada di toko-toko online dan offline, dan jadi film layar lebar,” tutup Abimanyu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *