Cakrawala Merah, Jakarta– Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) menyelenggarakan diskusi publik dan pemutaran film dokumenter “Palm Oil in the Land of Orangutans” sebagai upaya mengedukasi dan mempromosikan biodiversity dan ekosistem di perkebunan kelapa sawit yang mendukung prinsip berkelanjutan.
Nanang Hendarsah selaku ketua pengurus IPOSS dalam sambutannya mengatakan acara ini penting dalam membangun perspektif publik di tengah isu negatif tentang kelapa sawit. Melalui film dokumenter ini, dapat disaksikan bahwa kehidupan keanekaragaman hayati dapat hidup berdampingan dan menciptakan harmoni dengan ekosistem perkebunan kelapa sawit.
“Film ini unik, karena menampilkan perspektif lain tentang kehidupan biodiversitas di kebun kelapa sawit yang ternyata bisa hidup berdampingan tanpa menimbulkan masalah”, kata Nanang.
Acara ini juga dibuka oleh Heru Hartanto Subolo selaku Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Dewan Pengawas IPOSS, yakni Darmin Nasution, Sofyan A. Djalil dan Yuri Octavian Thamrin turut hadir untuk mendukung terselenggaranya acara ini.
Isu kelapa sawit dan lingkungan hidup sudah lama menjadi perhatian baik di tingkat nasional maupun internasional.
Di satu sisi, industri kelapa sawit merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, berkontribusi signifikan terhadap devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan pembangunan daerah. Namun, di sisi lain, masih ada saja persepsi negatif di sebagian masyarakat internasional terkait dampak sawit terhadap deforestasi, emisi gas rumah kaca, dan keberlangsungan satwa liar, khususnya orangutan.
Film dokumenter “Palm Oil in the Land of Orangutans” yang diproduksi oleh Copenhagen Film Company, Denmark, hadir di tengah perdebatan ini. Film tersebut menggambarkan secara visual realitas di lapangan, memperlihatkan bagaimana sawit berinteraksi dengan lingkungan, khususnya habitat orangutan.
Pemutaran film ini penting sebagai media edukasi publik yang objektif, sekaligus sebagai pintu masuk untuk diskusi kritis yang konstruktif yang disponsori oleh KBRI Kopenhagen, Kebun Binatang Kopenhagen (Copenhagen Zoo) dan IPOSS.
Selama 8 tahun (2015-2023), Copenhagen Zoo dan United Plantation melakukan rehabilitasi hutan sambil melakukan pengamatan secara empiris atas biodiversitas yang menyeruak dalam “hutan koridor” seluas 318 ha, menghubungkan area perkebunan sawit dan hutan lindung di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Dalam film ini terlihat, beberapa ekor orangutan yang baru melahirkan dan mereka hidup secara baik di perkebunan kelapa sawit. Selain itu, berbagai binatang seperti serangga, ular dan berbagai burung juga berkembang biak secara normal. Hal ini menunjukkan bahwa produksi minyak kelapa bisa sawit dilakukan tanpa mempengaruhi ekosistem flora dan fauna.
Diskusi yang membuka wawasan tentang ekosistem perkebunan kelapa sawit dimana para pembicara yaitu ;
Simon Bruslund selaku Director of Global Development Copenhagen Zoo mengatakan pembangunan hutan koridor yang diupayakan oleh United Plantation dirancang untuk menghubungkan area perkebunan kelapa sawit dengan hutan lindung di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting sangat penting karena ini menjadi ”jalan tol” penghubung lalu lintas satwa liar yang hidup di antara tempat tersebut.
Simon menambahkan, selain orangutan ia juga melakukan penelitian tentang satwa lain yang hidup di Taman Nasional Tanjung Puting diantaranya burung yang semakin hari semakin menurun spesiesnya.
”Kami melakukan penandaan di burung yang kami teliti sebagai upaya lebih lanjut dalam menjaga keberlanjutan kehidupan burung itu”, katanya.
Carl Traeholt selaku Manager, International Project Development Copenhagen Zoo mengatakan untuk mewujudkan industri kelapa sawit berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama. Mulai dari produsen, konsumen, sampai masyarakat luas. Carl juga menyinggung Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menjadi syarat sertifikasi industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, Carl juga menekankan adanya adapting management khusunya terkait spesies, air dan populasi.
”Jika adapting management ini tidak dilakukan dengan baik, maka yang terjadi adalah penurunan ekosistem” katanya.
Petrus Gunarso selaku Pakar Kehutanan dan Lingkungan mengatakan penting adanya perhatian khusus mengenai kawasan hutan oleh pemerintah. Khusunya dalam hal pengelolaan dan pemeliharaan yang semestinya dilakukan juga pembaruan data secara secara berkala dan berkelanjutan. Petrus juga menyinggung spesies yang yang hidup di kawasan hutan, khususnya orangutan dan harimau.
”Kawan-kawan dari NGO ini jika membicarakan sesuatu, pasti menggunakan keystone species. Dalam hal ini adalah orangutan dan harimau,” katanya.
Bagi Indonesia, kegiatan ini memiliki makna strategis. Pertama, untuk menunjukkan keterbukaan dalam membicarakan isu sawit secara ilmiah dan berimbang. Kedua, untuk mengedukasi publik—terutama generasi muda dan kalangan akademisi—agar memahami kompleksitas hubungan antara ekonomi, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Ketiga, kegiatan ini memperkuat kerja sama diplomasi hijau antara Indonesia dan komunitas internasional, khususnya dengan Denmark melalui dukungan KBRI Kopenhagen dan Copenhagen Zoo.
Dengan demikian, diskusi publik dan pemutaran film ini bukan sekadar acara hiburan, tetapi sebuah forum dialog yang membuka wawasan, menghubungkan perspektif, dan mendorong lahirnya solusi bersama untuk masa depan yang lebih berkelanjutan. (Ymn/Rls)