Cakrawala Merah, Jakarta – Orang lalu lalang di depan sebuah kios di salah satu blok di Gedung Chandra Jl. Pancoran Glodok, ada yang mampir, ada juga yang sekedar lewat saja.
Kios yang menjual berbagai buku literasi Bahasa mandarin termasuk buku biografi Prof. Satyanegara dan majalah Asiaweek (Yazhou Zhoukan), Yinhua Zhiseng telah berdiri sekitar tahun 1980-an. Pemilik kios adalah mendiang Huang Cun Sen yang meninggal sejak Juli 2021 kemudian diteruskan oleh putranya, Huang Khe-yong atau Ayung.
Usaha dagang literasi mandarin tersebut diberi nama/merek Sakura, dan masih didatangi pelanggan lamanya. Kendatipun kondisi tahun 1980-an dan sekarang, jauh berbeda, tapi suasana interaktif Ayung dan pelanggan masih belum pudar.
“Customer kadang lewat saja, tapi ada juga yang mampir sekedar ngobrol berbagai cerita. Dari obrolan dengan mereka, saya belajar mandarin dan menambah wawasan,” kata Ayung
Seperti halnya orang Tionghoa pada umumnya yang merantau ke Jakarta untuk berusaha, sebagian dengan modal usaha pas-pasan, cukup untuk hidup sederhana saja. Almarhum berasal dari Palembang, Sumatera Selatan dan mengadu nasib di Jakarta dengan berjualan koran di emperan. Lalu perlahan-lahan, ia mengumpulkan uang untuk memberi satu kios.
“Kondisi ekonomi, pas-pasan waktu itu. Papa saya hanya bermodal tekad, ada tempat di emperan untuk dagang. Awalnya dagang koran bahasa Indonesia seperti Kompas, Suara Pembaharuan, dan lain sebagainya. Saya merasakan perbedaan generasi dulu dan milenial. Tahun 1980 – 1990 an, literasinya terutama mencari berbagai informasi relative lebih bagus. Kalau sekarang, generasi milenial atau gen-Z mengandalkan social media,” kata pria kelahiran tahun 1975.
Literasi Bahasa mandarin terutama kemampuan membaca dan memahami, termasuk pengetahuan kosa kata, susunan kalimat sebetulnya sudah ada sejak era Orde Lama. Sebelum masa reformasi di Indonesia (setelah tahun 1998 – sekarang), siswa Indonesia yang belajar bahasa mandarin terutama di Tiongkok dan Taiwan semakin banyak. Sejak Peraturan Presiden yaitu PP 10/1959, dimana ratusan ribu WNA (warga negara asing) dipulangkan ke negeri leluhur, sudah ada larangan bahasa mandarin. Tapi ada beberapa keluarga Tionghoa Indonesia yang mampu mengirimkan anaknya belajar di luar negeri.
“Jumlahnya masih sangat sedikit saat itu. Era tahun 1990-an, jumlah yang belajar mandarin di luar negeri semakin bertambah. Sebagian berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi. Masa reformasi, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan. Hal ini berdampak pada usaha dagang literasi mandarin seperti kami,” ujar alumni sekolah Katolik di Jl. Duri Selatan, Kecamatan Tambora Jakarta Barat.
Usaha literasi mandarin masih eksis terfokus di pecinan Glodok. Kendatipun replica pecinan seperti Pantjoran di Golf Island, Pantai Indah Kapuk (PIK) yang berdiri pada November 2020 ramai pengunjung, tapi suasana dan nuansanya berbeda dengan Glodok Pancoran Jakarta Barat (Jakbar). Sejarah Glodok sudah bersinar di era kolonial Belanda pada tahun 1741, Belanda membuat pemukiman khusus untuk masyarakat Tionghoa dengan berbagai aktivitasnya terutama perdagangan. Kalau Glodok di Jakbar, suasananya tidak lepas dari interaksi pedagang dan pembeli, yang sebagian besar masih bisa berbahasa mandarin.
“Saya pernah juga pernah ke Pantjoran PIK, tapi saya melihat nuansanya beda. Replica pecinan di Golf Island PIK tidak sama dgn yang di Glodok Jakarta Barat. Pedagang dan pelanggan di Pancoran terdiri dari banyak suku, Hakka, Teochew, Hokkian, Kanton atau Konghu saling berinteraksi intens dengan literasi mandarin” pungkaa Ayung.
Aset budaya dan literasi sebagaimana kios ‘Sakura’ tentu masih banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia namun belum semuanya dapat perhatian dan dukungan baik masyarakat sekitar juga pemerintah. (Red/Ly/Ymn)